Khaleej Times Jobs – Tan Malaka adalah tokoh yang sejak awal mencetuskan ide bahwa Indonesia lebih cocok menjadi sebuah republik daripada kerajaan. Gagasan tersebut tidak muncul secara tiba-tiba. Ketika belajar di Belanda, Tan menyerap banyak pemikiran politik Eropa seperti nasionalisme dan komunisme yang kemudian membentuk pandangan politiknya. Pemikirannya tentang sistem republik lahir dari keresahannya melihat kondisi Indonesia yang beragam. Ia meyakini bahwa republik adalah bentuk negara paling adil bagi bangsa yang terdiri dari banyak suku, budaya, dan agama. Melalui tulisannya Naar de Republiek Indonesia, Tan memaparkan kerangka sistem negara yang modern dan anti-penindasan. Konsep tersebut tersebar luas di kalangan pemuda dan pejuang kemerdekaan. Nama Tan Malaka mulai disebut-sebut sebagai Bapak Republik karena kontribusinya ini. Bahkan sebelum kemerdekaan diproklamasikan, arah perjuangan bangsa telah banyak dipengaruhi oleh gagasannya tentang kemerdekaan dalam bentuk republik, bukan monarki.
Tan Malaka memulai perjuangan politiknya di tanah air sepulang dari Belanda dengan menjadi guru di perkebunan teh Sanembah, Sumatera Utara. Di sanalah Tan Malaka menyaksikan sendiri penderitaan buruh pribumi yang tertindas oleh kolonial. Fakta ini mendorongnya terlibat dalam organisasi seperti ISDV yang kelak menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Kegiatan politiknya menjadikannya incaran pemerintah kolonial, hingga ia harus diasingkan ke Belanda pada tahun 1922. Dari sinilah, petualangan politik Tan dimulai. Ia mengembara ke berbagai negara seperti Tiongkok, Rusia, Jepang, dan Filipina sambil tetap menyebarkan gagasan kemerdekaan. Nama Tan Malaka digunakan sebagai samaran untuk menyembunyikan identitasnya dari kejaran intelijen kolonial. Di Tiongkok, ia menulis Naar de Republiek Indonesia, karya monumental yang menginspirasi banyak pejuang kemerdekaan. Gagasan revolusioner ini membuatnya diakui sebagai pemimpin intelektual yang berani dan jauh melampaui zamannya.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Tan Malaka kembali ke tanah air dan mulai aktif bergerak di kalangan pemuda. Ia merasa kemerdekaan yang diraih masih belum sepenuhnya bebas dari pengaruh asing. Ia mengorganisir gerakan massa untuk membuktikan dukungan rakyat terhadap kemerdekaan Indonesia. Puncaknya adalah Rapat Raksasa Lapangan IKADA yang memperlihatkan kekuatan rakyat kepada Sekutu. Aksi ini membuat pemerintah mulai mempertimbangkan peran Tan dalam pemerintahan. Ia sempat ditawari jabatan oleh Hatta namun menolaknya karena ingin berjuang di jalur rakyat. Ia merasa lebih efektif mengorganisasi kekuatan rakyat daripada duduk di kursi kabinet. Karena pandangan revolusionernya, Tan sempat dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah Sjahrir yang cenderung berdiplomasi dengan Belanda. Ketegangan ini memuncak pada kudeta 3 Juli 1946, di mana Tan bersama kelompok Persatuan Perjuangan dituduh hendak menculik kabinet dan akhirnya ditahan.
Meski banyak dipenjara, semangat Tan Malaka tidak pernah surut. Ia terus menulis untuk menyuarakan pemikirannya tentang kemerdekaan sejati. Salah satu karya terkenalnya adalah Madilog, singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Dalam buku ini, ia mengkritik pola pikir masyarakat Indonesia yang tidak kritis dan cenderung mistis. Ia menawarkan pendekatan berpikir rasional sebagai fondasi dalam membangun bangsa. Selain itu, ia juga menulis buku Massa Actie yang berisi strategi perjuangan politik rakyat. Dalam buku Dari Penjara ke Penjara, ia mencatat pengalaman hidupnya sebagai pejuang yang terus diburu. Tulisan-tulisan Tan digunakan sebagai bahan ajar dan diskusi oleh banyak tokoh pergerakan saat itu. Bahkan setelah kemerdekaan, pemikirannya tetap menjadi rujukan. Buku-bukunya telah dicetak ulang dan dipelajari oleh generasi baru. Semangat Tan dalam membangun bangsa melalui pena menjadi bukti bahwa perjuangan tidak harus selalu melalui senjata atau jabatan.
Setelah keluar dari penjara, Tan Malaka tidak berhenti berjuang. Ia membentuk partai Murba yang memiliki ideologi antifasis dan antikapitalis. Namun karena berbeda pandangan dengan pemerintah, ia kembali menjadi buronan. Pada akhir tahun 1948, ia bergerilya di Kediri, Jawa Timur. Di sana ia menyamar lagi dengan nama Ilyas Husein sambil tetap melakukan konsolidasi politik. Namun pada Februari 1949, ia ditangkap oleh tentara Republik dan dieksekusi secara diam-diam. Informasi tentang kematiannya sengaja dirahasiakan bertahun-tahun. Baru pada 1963, Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional. Meski begitu, nama Tan sempat tidak populer dalam narasi sejarah resmi Indonesia. Kisahnya lebih banyak dikenal melalui tulisan sejarawan seperti Harry Poeze. Majalah Tempo pernah mengangkat kisahnya dalam edisi khusus sebagai bentuk penghargaan terhadap peran besar Tan dalam mendirikan Republik. Kini, Tan Malaka perlahan kembali dikenang sebagai tokoh sentral kemerdekaan yang sempat terlupakan.
Artikel ini bersumber dari www.ruangguru.com dan untuk lebih lengkapnya kalian bisa baca di khaleejtimesjobs
Penulis : Sarah Azhari
Editor : Anisa
Khaleej Times Jobs – Amorim merupakan sosok yang kini menjadi sorotan besar setelah resmi diumumkan sebagai pelatih Manchester United. Lahir di Lisbon…
Khaleej Times Jobs – Bali dikenal sebagai destinasi wisata dunia yang menawarkan keindahan alam dan budaya yang luar biasa. Namun, dalam beberapa…
Khaleej Times Jobs – Bulgaria telah menarik perhatian sebagai destinasi kerja yang semakin diminati oleh para profesional global. Terletak di Eropa Tenggara,…
Khaleej Times Jobs – Rekrutmen KAI 2025 untuk berbagai posisi saat ini sedang berlangsung dengan persaingan ketat di antara ribuan pelamar. Proses…
Khaleej Times Jobs – Ronaldinho menjadi salah satu legenda sepak bola dunia yang ikut meramaikan kemenangan Ousmane Dembélé pada ajang Ballon d’Or…
Khaleej Times Jobs – Alwin Jabarti Kiemas menjadi pusat perhatian publik setelah resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus judi online Komdigi. Identitasnya…