
Have Seat Will Travel – Sherly Tjoanda kembali menarik perhatian publik setelah video dirinya menatap Muzakir Manaf viral di media sosial. Tatapan itu terjadi saat keduanya menghadiri pertemuan dengan Menteri Keuangan Purbaya beberapa waktu lalu. Gubernur Maluku Utara ini dikenal bukan hanya karena parasnya yang menawan, tetapi juga karena kekayaannya yang fantastis. Berdasarkan laporan LHKPN, total kekayaan Sherly mencapai sekitar Rp709 miliar dengan utang hanya Rp24,47 miliar. Angka itu menempatkannya sebagai gubernur terkaya di Indonesia. Sumber kekayaannya tersebar dalam berbagai aset dan perusahaan yang beroperasi di sektor tambang dan properti. Publik mulai mempertanyakan asal kekayaan tersebut karena sejumlah aktivitas bisnis yang diduga berhubungan dengan posisinya sebagai kepala daerah. Sorotan ini semakin tajam ketika beberapa organisasi masyarakat sipil menilai adanya potensi konflik kepentingan di balik jaringan bisnis yang dikaitkan dengan dirinya.
Sherly Tjoanda diketahui memiliki keterkaitan erat dengan sejumlah perusahaan tambang besar yang beroperasi di wilayah Maluku Utara. Berdasarkan temuan Jaringan Advokasi Tambang bersama Simpul Jatam Maluku Utara, terdapat indikasi kuat bahwa berbagai perusahaan di bawah kendalinya menguasai lahan dan sumber daya alam dalam skala besar. Beberapa di antaranya termasuk PT Karya Wijaya yang mengelola tambang nikel di Gebe, PT Bela Sarana Permai yang bergerak di bidang pasir besi di Pulau Obi, dan PT Amazing Tabara yang menambang emas di Halmahera. Selain itu, terdapat pula PT Indonesia Mas Mulia serta PT Bela Kencana yang turut beroperasi di sektor nikel. Aktivitas perusahaan-perusahaan ini disebut memberi dampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Namun, pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan justru dinilai hanya menguntungkan segelintir pihak tanpa memberikan kesejahteraan nyata bagi warga lokal.
“Baca juga: Hakim Tegas: Abolisi Tom Lembong Tidak Manfaat bagi Terdakwa Lain!”
Potensi konflik kepentingan mulai mencuat ketika beberapa perusahaan yang dikaitkan dengan Sherly Tjoanda memperoleh izin konsesi baru berdekatan dengan momentum pemilihan gubernur. PT Karya Wijaya misalnya, memperoleh izin pengelolaan dua konsesi nikel di Pulau Gebe dan Halmahera dengan luas mencapai lebih dari 1600 hektare. Izin itu diterbitkan saat Sherly mencalonkan diri sebagai gubernur. Di perusahaan tersebut, Sherly menjadi pemegang saham terbesar dengan porsi hingga 71 persen, sementara sisanya dimiliki oleh anak-anaknya. Ia juga tercatat memiliki 25,5 persen saham di PT Bela Group yang merupakan induk dari sejumlah bisnis peninggalan almarhum suaminya, Benny Laos. Fakta ini menimbulkan dugaan bahwa kekuasaan politik dimanfaatkan untuk memperlancar kegiatan bisnis keluarga. Publik menilai bahwa posisi sebagai gubernur berpotensi digunakan untuk mempengaruhi kebijakan dan proses perizinan di sektor pertambangan.
Keberadaan jaringan bisnis Sherly Tjoanda disebut telah memicu berbagai persoalan sosial dan ekologis di Maluku Utara. Di wilayah Halmahera Selatan, aktivitas tambang mengakibatkan menurunnya kualitas air bersih yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Di Pulau Obi, deforestasi terjadi dalam skala luas akibat aktivitas penambangan pasir besi. Sementara di Pulau Gebe, masyarakat menghadapi tumpang tindih klaim lahan antara warga dan perusahaan. Kondisi ini menimbulkan ketegangan serta memunculkan aksi protes dari kelompok masyarakat yang merasa kehilangan ruang hidup. Laporan Jatam juga menyebut adanya praktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak aktivitas tambang. Pembangunan ekonomi yang digembar-gemborkan melalui sektor tambang akhirnya justru memperparah ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan. Kekayaan alam Maluku Utara seolah menjadi korban dari ekspansi bisnis yang tidak diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan ekologis.
Gelombang kritik terhadap Sherly Tjoanda terus meningkat seiring terbongkarnya jejaring bisnis yang melibatkan dirinya dan keluarganya. Banyak pihak menilai bahwa kepemimpinannya telah diwarnai oleh praktik yang tidak transparan dalam pengelolaan sumber daya alam daerah. Organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah pusat untuk melakukan audit menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan yang terkait dengan nama Sherly. Mereka juga meminta agar konflik kepentingan antara jabatan publik dan kepentingan pribadi ditindak secara tegas sesuai hukum yang berlaku. Publik berharap agar pejabat daerah menunjukkan integritas dalam menjalankan amanah rakyat, bukan memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri. Kasus ini menjadi refleksi penting tentang bagaimana kekuasaan politik bisa berkelindan dengan kepentingan ekonomi, terutama di daerah yang kaya sumber daya alam namun masih tertinggal secara sosial.
Artikel ini bersumber dari ajnn dan untuk lebih lengkapnya kalian bisa baca di khaleejtimesjobs
Penulis : Sarah Azhari
Editor : Anisa
Khaleej Times Jobs – Tom Lembong menjadi sorotan publik setelah namanya terseret dalam kasus korupsi impor gula yang menyebabkan kerugian negara hingga…
Khaleej Times Jobs – Sahroni menjadi salah satu nama yang paling disorot dalam sidang perdana Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang digelar…
Khaleej Times Jobs – Nikita Mirzani kembali menjadi sorotan setelah divonis empat tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kasus…
Khaleej Times Jobs – Mobil Patwal kembali menjadi sorotan publik setelah sebuah video viral di media sosial memperlihatkan kendaraan pengawalan tersebut parkir…
Khaleej Times Jobs – ASEAN kembali menjadi sorotan setelah terjadi insiden unik saat pembukaan KTT Ke-47 di Kuala Lumpur Malaysia. Momen mengejutkan…
Khaleej Times Jobs – Queen Sirikit meninggal dunia dalam usia 93 tahun di sebuah rumah sakit di Bangkok pada Jumat malam pukul…